Minggu, 27 Agustus 2017

       Uang Kuliah Tunggal (UKT) meruapakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggungkan kepada setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya.
Biaya kuliah Tunggal merupakan seluruh biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negri dan UKT itu ditetapkan berdasarkan BKT dikurangi dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah.

Landasan Hukum UKT
      UU Perguruan Tinggi pasal 88 ayat 5 tahun 2012. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
      Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan  nomor 73 tahun 2014 tentang  perubahan atas peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 55 tahun 2013 tentang biaya kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal pada perguruan tinggi negeri di lingkungan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Semenjak Indonesia terlibat dalam GATS (General Agreement on Trade in Services)[1] menyepakati persetujuan internasional yang melegalisasi[2] liberalisasi perdagangan jasa di seluruh dunia.


     Pada tahun 1994 indonesia meratifikasi/ menerima pembentukan WTO ( word Trade organization) yang dimana  meliputi GATS didalamnya organisai tersebut .
Pada tahun 1995 indonesia resmi menjadi anggota WTO melalui UU No 7 Tahun 1994. Didalam kesepakatan WTO tersebut ada 12 sektor jasa yang disepakati dimana pendidikan dan kesehatan termasuk didalamnnya sebagai jasa yang harus diperdagangkan.
Sehingga setiap Negara yang tergabung didalam WTO diwajibkan menarik dan mengurangi subsidinya agar semua kalangan bisa meninvestasikan modal kedalam sector tersebut semua itu tentu hanya untuk kepentingan Negara maju ( imprealis) untuk menjajah Negara yang sedang berkembang ( feodalisme) agar menghilangkan hambatan untuk investasi dinegara-negara berkembang.
melalui kesepakatan tersebut sudah terbukti yang dilakukan pemerintah terhadap pendidikan untuk melepaskan tanggung jawabnya dan menjadikannya sebagai barang dagangan dimulai sejak Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Kemudian  UU NO 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, namun UUD Sindiknas  ditolak dan kecaman oleh seluruh mahasiswa Indonesia sehingga dicabut oleh MK pada tahun 2010 namun semua belum berakhir sampai disitu pada tahun 2012 muncul kembali UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi sehingga saat ini lahir Permendikbud no 73 tahun 2014 

dimana hanya 5 % yang mendapatkan kelompok 1 yaitu Rp 500.000 dan 5% yang mendapatkan kelompok 2 yaitu Rp 1.000,000.  Selebihnya mendapatkan kelompok atas atau dianggap mampu.

Bedasarkan kenyataan ini menjelaskan dan dapat membuktikan  bahwa Negara telah melepaskan tanggung jawabnya terhadap sector pendidikan tinggi.

Penyimpangan pertama, penyediaan akses pendidikan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang pada hakikatnya merupakan tanggung jawab negara sebagaimana yang dimaksud di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami penyimpangan.

UKT dan UU PT yang sejatinya merupakan kebijakan yang anti terhadap rakyat hanya akan mampu kita lawan dengan bersatunya seluruh lapisan rakyat tertindas khususnya mahasiswa.
UKT Menyengsarakan; Bangkit, Berorganisasi dan Berjuang  adalah jalan keluar untuk menghancurkan kebijakan anti rakyat.


Hidup Mahasiswa Indonesia !!!














[1] Kesepakatan perdagangan jasa.
[2] pengesahan

Senin, 10 April 2017



Pers Release

“Hentikan Privatisasi dan Komersialisasi Pendidikan-Lawan segala Bentuk Tindak kekerasan di Sektor Pendidikan”

TOLAK Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT)”

Sebagai Perguruan Tinggi Negeri terbesar di Kalimantan Tengah Universitas Palangka Raya (UPR) memiliki jumlah mahasiswa ± 17.200 orang yang berbagai dari latar belakang, dengan kondisi demikian tentunya menjadikan UPR sabagai instrument yang memiliki tanggung jawab untuk kemajuan atas maju tidaknya kebudayaan dan teknologi di Kalimantan Tengah. Atas dasar itu seluruh civitas akedemika Palangka Raya memiliki kepentingan atas terjangkaunya biaya kuliah, tersedianya fasilitas yang layak, berjalannya birokrasi yang demokratis atara birokrasi dan mahasiswa di kampus dan memiliki transparansi pengelolaan dana yang jelas.
Namun jauh panggang dari api, apa yang terjadi di UPR sendiri sangat jauh dari harapan. Dari apa yang berlangsung beberapa bulan terakhir, dapat kita lihat bahwa ada beberapa persoalan yang ada di UPR. Mulai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, fasilitas yang buruk, pembungkaman atas mahasiswa yang kritis, tidak dilibatkannya mahasiswa selaku unsur mayoritas dalam mengambil kebijakan kampus dan tidak memiliki transparansi dana yang jelas.

UKT Mahal

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa bangsa ini berdiri salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya, maka adalah sebuah keharusan bagi Negara untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang mampu mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang mampu diakses seluruh lapisan rakyat. Meskipun sudah memasukkan sebanyak 35% mahasiswa yang kurang mampu kedalam kelompok 1dan 2 namun angka tersebut masih belum cukup. Karena pada faktanya pada tahun 2016 terdapat 300 Mahasiswa yang masih saja keberatan dengan nominal UKT yang diterimanya. Hal ini membuktikan bahwa Universitas Palangka Raya turut andil dalam memberatkan beban rakyat untuk mengakses pendidikan di perguruan tinggi.

Fasilitas Yang Buruk

Salah satu instrument penting dalam menunjang proses pendidikan adalah tersedianya fasilitas yang memadai, namun ditengah kondisi makin mahalnya biaya kuliah di UPR hal tersebut tidak berdampak baik terhadap fasilitas baik yang didapatkan oleh mahasiswa. Dapat kita lihat bahwa masih banyaknya ruangan kuliah yang panas, kursi kayu reot, tidak adanya sarana penunjang (LCD Proyektor) dan beberapa ruang kuliah yang hampir sama dengah hutan. Keadaan tersebut tentunya sangat menggangu mahasiswa dalam menjalani proses belajar mengajar di UPR.

Masih Banyaknya Pungutan Diluar UKT

Nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang di bayarkan mahasiswa tiap semester merupakan keseluruhan biaya operasional mahasiswa setiap semeternya dan tidak ada lagi pungutan diluar UKT (Baca : Permenristekdikti No. 22 Thn 2015). Namun, pada faktanya bahwa hari ini di UPR masih banyak melakukan pungutan kepada mahasiswanya untuk terus memeras orang tua mahasiswa, mulai dari adanya jual beli bahan ajar, biaya tugas akhir, minta stempel, tanda tangan dan bayar untuk biaya percetakan Kartu Hasil Studi (KHS). Masih banyaknya penerapan pungutan liar ini tentunya menambah beban mahasiswa selain UKT yang mahal.

Tidak Demokratisnya Kampus UPR

Mahasiswa yang menjadi unsur mayoritas di dalam kampus. Mahasiswa adalah manusia-manusia dewasa yang juga berhak ikut menentukan nasipnya sendiri didalam kampus, karena mahasiswa bukan lagi anak kecil yang tak tau dan harus diatur dalam menentukan nasipnya. Namun di UPR segala kebijakan dikeluarkan oleh rektor sama sekali tidak melibatkan mahasiswa selaku unsur mayoritas. Sebagain bukti nyata tidak demokratisnya UPR hari ini adalah  Melalui Peraturan Rektor Nomor 166/ UN 24/ KM/ 2017. Selanjutnya mahasiswa yang menyampaikan aspirasi dihadapkan dengan tindakan intimidasi dan kekerasan,       
               
Bedasarkan paparan diatas, kami dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Palangka Raya menuntut :

1          1. Tinjau ulang sistem UKT di UPR
2         2. Hentikan intimidasi terhadap mahasiswa UPR yang sedang memperjuangkan hak-               haknya
3         3. Tingkatkan sarana, prasarana dan fasilitas yang menunjang penyelenggaran                           pendidikan di UPR
4         4. Hentikan Pungutan Liar di UPR

5        5. Berikan kebebasan berorganisasi, berpendapat, mimbar akademik dan berekspresi            bagi mahasiswa UPR. 

Jumat, 20 Mei 2016


Tinggal beberapa hari lagi pesta demokrasi ala mahasiswa akan berlangsung, yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya pada tanggal 26 Mei 2016 mendatang. Dalam sejarah pemilihan BEM di universitas kita ini baik ditingkatan universitas hingga tingkatan fakultas, sejauh ini belum ada yang mampu merubah kondisi atas persoalan-persoalah yang dihadadapi mahasiswa secara mendasar.
Dalam perhelatan pesta demokrasi yang dilaksanakan di fisip kali ini, kebetulan ada 3 kandidat yang bersaing dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur fisip. Sehingga penting bagi kita untuk melihat apa yang menjadi prioritas mereka kedepan dan apakah salah satu dari pasangan calon ini ada yang tegas mengatakan untuk terus berjuang menyelesaikan problem yang dihadapi mahasiswa di fisip. Sebagaimana yang menjadi persoalan yang dihadapi mahasiswa saat ini adalah mulai dari buruknya faslitas kampus (sempitnya ruangan, kurangnya pendingin ruangan, wc yang tidak layak dll), Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sesuai dan adanya jual beli diktat.
Persoalan-persoalan inilah yang seharusnya menjadi prioritas bagi BEM selaku perwakilan atas keluhan-keluhan yang dihadapi mahasiswa, bukan malah menjadikan jabatannya sebagai alat untuk menguntungkan dirinya sendiri melalui berbagai macam kegiata kampus. Maka dengan kondisi demikian kita sebagai pemuda mahasiswa yang berpikiran maju untuk cerdas dalam memilih, mari kita perjuangkan kawan-kawan yang mencalon ini jika ada yang tegas mengatakan untuk terus berjuang melawan seluruh kebijakan kampus yang tidak pro kepada mahasiswa.
‪#‎MAHASISWA‬ BERSATU
‪#‎JAYALAH‬ PERJUANGAN MAHASISWA
Oleh :
- Erick W. S (Ka. Deprt. Pendidikan & Propaganda) Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting UPR
- Saputra (Div. Pelayanan Massa & Kampanye) Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting UPR

Kamis, 19 Mei 2016


Sungguh semakin tidak ada kabar baik dari dunia pendidikan, khususnya pada dunia perkuliahan. Bagaimana tidak, jangankan berbicara hak mendapatkan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan yang layak saja susah, tentunya bukan karena tidak adanya fasilitas pendidikan, melainkan biaya kuliah yang tinggi dan mencekik rakyat.
Sebagai gambaran yang terjadi di Universitas Antakusuma (UNTAMA) Pangkalan Bun, Kab. Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah saat ini, selain biaya kuliah yang mahal, masih banyaknya pungutan-pungutan (iuran) yang dilakukan pihak kampus kepada mahasiswa salah satunya adalah iuran Koperasi Mahasiswa (KOPMA) yang diberlakukan sejak tahun 2008, padahal KOPMA ini belum jelas legalitas keberadaanya, dan iuran ini ditarik sebesar 30ribu/mahasiswa. Robi alumnus untama mengatakan pihak rektorat seharusnya tidak menarik iuran KOPMA, kalau memang rektor tahu bahwa kopma itu belum terbentuk dan juga kami menuntut Ujang Iskandar untuk lengser dari pemilik yayasan untama. Ujarnya
Wahujan Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cab. Palangkaraya, mengatakan mendukung penuh atas perjuangan kawan-kawan mahasiswa untama untuk menuntut hak-hak dasarnya, salah satunya adalah untuk menolak segala bentuk pungutan-pungutan liar oleh pihak kampus kepada mahasiswa, sebab pendidikan seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara, untuk memberikan hak atas pendidikan, bukan menjadikan kampus sebagai ladang untuk meraup keuntungan.
Biaya kuliah yang kian mahal, banyaknya pungutan liar, fasilitas yang tidak layak sudah menjadi problem pada perguruan tinggi, apa yang dialami oleh kawan-kawan untama hari ini, sebenarnya juga terjadi di Universitas Palangka Raya (UPR) bahwa selain mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT), pungutan-pungutan liar juga terjadi seperti adanya jual beli diktat, pungutan pembuatan e-KTM dan pungutan lainnya. Tentunya problem ini sangat memberatkan orang tua mahasiswa, selain harus membiayai kulian yang mahal tiap semesternya ditambah lagi dengan pungutan liar yang dilakukan pihak kampus. Lanjut Ijan.
Oleh sebab itu, kami dari FMN Cab. Palangka Raya, mendukung penuh perjuangan kawan-kawan untama untuk melawan skema-skema kampus yang menjadikan pendidikan semakin tergerus kedalam jurang liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, dan tentunya ini akan menghambat akses rakyat yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tutupnya

Salam,
BPC-FMN Palangka Raya


Wahujan
Ketua

#Hentikan Pungutan Liar
#Berikan Pendidikan Murah



Pendidikan merupakan sebuah sistem yang ditempa dan dibangun untuk meningkatkan taraf berpikir manusia demi tercapainya tatanan masyarakat yang adil dan beradap. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan apalagi menjadi alat penindasan bagi kaum penguasa. Pendidikan bertujuan menjadikan realitas sosial menjadi objek untuk menyelesaikan fenomena sosial tersebut. Kemudian secara praxis pendidikan diamalkan untuk memecahkan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Jadi, pendidikan adalah proses dialektika manusia yang melahirkan sebuah kesadaran bersama secara bebas merdeka, untuk melahirkan sebuah peradabaan manusia yang sama atas penguasaan ekonomi, politik dan sosial budaya.
Akan tetapi pendidikan hari ini sejatinya tidak lagi berorientasi sebagai wadah untuk menyelesaikan persoalan yang ada dimasyarakat. Sebagaimana yang terjadi bahwa pendidikan hari ini orientasinya adalah sebagai mesih pencetak tenaga kerja murah yang siap pakai pada dunia industry. Pendidikan hanya sebagai pelengkap agenda liberalisai ekonomi semata, jauh sekali dari sifat kritis untuk melahirkan kesadaran bersama untuk membantu menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat.
Masih buruknya sistem pendidikan, tentunya adalah gambaran bahwa pendidikan sejatinya tidak lagi sebagai wadah untuk memajukan perkembangan peradaban maju bagi rakyat indonesia, melainkan adalah untuk kepentingan penguasa untuk terus memajukan industry-industry penguasaan sumber daya alam indonesia. Jelas bahwa pendidikan hari ini sangat jauh dari orientasinya. Menyoal tentang tata kelola pendidikan hari ini pun demikian, masih buruk tata kelola pendidikan menjadikan beban bagi rakyat indonesia, yang tidak lain belakangan ini yang menjadi problem adalah tentang mahalnya biaya pendidikan tinggi oleh sistem uang kuliah tunggal (UKT), masih banyaknya fasilitas yang tidak layak, pungutan-pungutan liar yang masih marak terjadi, tenaga pengajar yang tidak berkompeten (masih S1) , ditambah lagi dengan kurikulum yang diterapkan tidak ilmiah.
Pesoalan pokok pendidikan hari ini yang mutunya sangat rendah tentunya ini merupakan skema yang diterapkan oleh imperalisme untuk terus menancapkan dominasinya pada negara jajahannya salah satunya melalui dunia pendidikan dengan menanamkan teori-teori humanis dan membuat kebudayaan rakyat semakin terbelakang. Kondisi pendidikan tinggi yang semakin membuat mahasiwa tercekik oleh biaya kuliah, mendapat respon yang keras untuk menolak sistem pendidikan hari ini.
Dalam moment hari pendidikan nasional (Hardiknas) adalan moment yang tepat untuk mengupas seluruh skema pendidikan yang buruk hari ini. Perayaan hardiknas banyak yang merayakannya dengan mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi di kampus masing-masing, seperti yang terjadi di universitas gajah mada (UGM) ribuan mahasiswa menduduki rektorat untuk menuntut kampus meninjau kembali sistem UKT, pencairan tunjangan tenaga pendidik dan relokasi kantin UGM, hal demikian juga terjadi beberapa kampus besar di indonesia, di universitas negeri makassar (UNM), Palu dan daerah lainnya, dalam memperingati hardiknas ini juga mengangkat isu-isu yang ada dikampus masing-masing, pada umumnya persolan yang dihadapi sama yaitu tentang biaya kuliah yang kian mahal.
Sejak zaman Politik Etis hingga rezim boneka hingga saat ini, pendidikan di Indonesia pada umumnya merupakan suatu rangkaian proses pemenuhan akan tenaga kerja murah. Negara sebagai institusi penyelenggaran pendidikan nasional telah mengabaikan tanggung-jawabnya dengan menjalankan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi yang membebankan biaya pendidikan kepada rakyat. Kemudian Pendidikan Indonesia yang mengabdi pada kepentingan Imperialisme AS dan feodalisme, tentu memerlukan sebuah antitesa terhadap sistem pendidikan di Indonesia hari ini.
Pendidikan yang dibutuhkan tersebut adalah suatu sistem pendidikan nasional yang dapat membebaskan rakyat dari belenggu penjajah. Rakyat Indonesia (klas buruh, tani, masyarakat adat, suku minoritas, perempuan, miskin perkotaan) membutuhkan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mendorong kemajuan bangsa untuk menjawab persoalan –persoalan pokok rakyat.
Sistem Pendidikan tersebut kemudian disimpulkan sebagai Sistem Pendidikan Nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat. Pendidikan tersebut bertujuan membangun kemandirian dan kedaulatan rakyat menuju masyarakat yang mandiri dan bersatu secara teritori, ekonomi, bahasa, dan karakter nasional dengan mengabdi pada pelaksanaan landreform dan pembangunan industri nasional.Tujuan mulia itu hanya bisa dicapai dengan sistem pendidikan nasional yang Ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat serta pendidikan yang anti imperialisme AS dan feodalisme.

Oleh : Wahujan