Rabu, 15 Oktober 2014

UKT: MEMUDAHKAN ATAU MEMBERATKAN RAKYAT

 Oleh Front Mahasiswa Nasional BPR Universitas Palangka Raya

Perhatian publik sempat tersita ketika hadir berita tentang 5 orang mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang berencana menjual ginjalnya untuk membayar besaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang ditetapkan oleh pihak kampusnya. Bukan hanya di Malang, di Palangka Raya sendiri UKT menjadi persoalan yang juga menghantui mahasiswa baru di Uniersitas Palangka Raya.  Dari posko pengaduan yang didirikan oleh Save Universitas Palangka Raya sendiripun sudah menghimpun sekitar 40 orang mahasiswa yang meminta bantuan untuk mengajukan banding atas besaran UKT yang diterima. Lalau apa sebenarnya UKT itu? apakah memudahkan atau justru menyengsarakan rakyat?

A.    Prinsip Subsidi Silang adalah Ilusi
Sistem pembiayaan UKT sendiri merupakan kebijakan baru pemerintah melalui Permendikbud no 55 tahun 2013 dan diperbaharui dengan Permendikbud no 73 tahun 2014. UKT di Uniersitas Palangka Raya pada tahun 2013 tedapat 5 kelompok pembiayaan yaitu :
Kelompok I (Rp. 500.000,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua buruh berpenghasilan tidak tetap dan PNS golongan I yang tidak ditampung beasiswa bidik misi.

Kelompok II (Rp. 1.000.000,-) untuk mahasiswa dengan ciri orang tua PNS golongan II,karyawan swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setara dengan PNS Golongan II.
Kelompok III (Rp. 1.500.00,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua PNS Golongan III, karyawan swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setara Golongan III.
Kelompok IV (Rp. 2.000.000,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua PNS golongan IV karyawan swasta yang berpendapatan setara Golongan IV.
Kelompok V (Rp. 2,645,000 – Rp. 4,170,000) mahasiswa dengan penghasilan orang tua lebih dari PNS golongan IV.

Sistem tersebut merupakan skema baru dalam pembiayaan pendidikan tinggi, dengan prinsip subsidi silang dimana yang tergolong dalam kelompok mampu akan membayar lebih mahal dari kelompok yang tergolong kurang mampu. Namun, walaupun terkesan baik karna dapat memudahkan mahasiswa yang kurang mampu untuk menempuh pendidikan tinggi, kenyataannya hal tersebut hanyalah ilusi, karena UKT hanya menyediakan slot 10 % untuk kelompok I dan kelompok II yang merupakan kelompok pembiayaan masyarakat kurang mampu. Hal itulah yang mungkin menyebabkan banyaknya slip pembayaran yang dibuang oleh mahasiswa baru yang mengurungkan niatnya untuk kuliah di Universitas Palangka Raya. Karena slot untuk menampung mahasiswa kurang mampu sudah penuh sehingga masih banyak mahasiswa yang kurang mampu banyak yang tidak tertampung dan dimasukan ke dalam kelompok V dengan pembiayaan yang lebih mahal. Hal tersebut bukanlah mustahil jika ada seorang anak buruh perkebunan kelapa sawit dengan UMP Kalimantan Tengah sebesar Rp. 1.723.970,[1]- tidak tertampung dalam slot kelompok I dan II maka sangatlah berat untuknya dan orang tuanya membayar UKT yang ditetapkan.

Sementara itu kesempatan pengajuan keberatan atas besaran UKT yang diterima oleh pihak kampuspun sama sekali bukan solusi yang tepat. Sebab, jika sekalipun keberatan diterima dan nominal UKT diturunkan, itupun akan ditetapkan pada semester berikutnya dan mahasiswa harus tetap membayar besaran UKT yang sebelumnya.

B.     Biaya Kuliah Makin Mahal
Dengan sistem pembayaran baru ini juga, nominal uang kuliah malah semakin bertambah mahal dibandingkan dengan sistem pembayaran sebelumnya. Sebab dalam menghitung besaran nominal UKT sendiri, segala biaya operasional kampus baik biaya langsung (gaji dosen, gaji karyawan, biaya proyektor, biaya listrik, biaya modul, dll) maupun biaya tidak langsung (biaya pemeliharaan gedung, biaya pembangunan fasilitas, dll) kesemuanya akan dihitung, kemudian jumlah tersebut disebut unit cost yang menentukan besaran UKT itu sendiri. Maka oleh karena itu wajar saja, ketika sistem UKT ini diterapkan kepada para mahasiswa baru tahun 2013/2014 dan 2014/2015, secara mayoritas mengalami kenaikan yang cukup drastis jika dibandingkan dengan biaya kuliah pada tahun sebelumnya.

Walaupun pemerintah membuat program yang bernama Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) yang tujuannya agar sebagian besar biaya operasional perguruan tinggi tidak menjadi beban mahasiswa yang daya belinya tidak cukup untuk membayar standar biaya operasional sesuai SPM. Namun sifatnya hanya membantu jika terjadi kekurangan dana operasional di perguruan tinggi tersebut. Begitu juga dalam sistem UKT ini dengan menyediakan alokasi pembiayaan terjangkau hanya 10% untuk mahasiswa kurang mampu, BOPTN tentu tidak secara fundamental memudahkan akses masyarakat terhadap perguruan tinggi.

      C.    UKT adalah Implementasi UU PT dan Bentuk Lepasnya Tanggung Jawab Negara Atas
            Pendidikan
Skema tentang liberalisasi pendidikan atau usaha melepaskan tanggung jawab Negara terhadap pendidikan di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1995 sejak Indonesia tergabung ke dalam organisasi perdagangan dunia yang biasa dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Hal ini ditandai dengan diadopsinya semua perjanjian perdagangan Indonesia dengan beberapa Negara menjadi UU no 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tentang tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau ha katas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.
            WTO memandang bahwa pendidikan termasuk ke dalam salah satu sector jasa yang layak diperdagangkan. Setidaknya ada 6 negara yaitu Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru yang meminta Indonesia untuk membuka perdagangan dalam sector jasa pendidikan. Untuk lebih melancarkan ekspor jasa pendidikan mereka ke Indonesia, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan termasuk subsidi dan lain sebagainya. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai WTO melalui perjanjian perdagangan dalam sector jasa atau General Agreement on Trade in Services (GATS)[1].Skema ini kemudian diratifikasi atau diadopsi oleh Negara menjadi payung hukum atau undang – undang di Indonesia. Diantaranya adalah UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang terbaru adalah Undag-undang pendidikan tinggi (UU PT) no 12 tahun 2012.
            Kemudian, khusus untuk implementasi dari UU PT, mulai dari tahun 2013 lahir suatu system pembiayaan yang baru di perguruan tinggi yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT merupakan amanta langsung dari UU PT melalui Permendikbud no 55 tahun 2013.
           
D.    UKT Menyengsarakan; Bangkit, Berorganisasi dan Bergerak adalah jalan keluar untuk menghancurkan kebijakan anti rakyat yaitu UKT dan UU PT
Dari paparan di atas, dapat kita lihat bahwa skema – skema yang ada dalam system UKT hanyalah ilusi yang sesungguhnya memiliki motivasi untuk menjadikan pendidikan semakin tergerus ke dalam jurang liberalisasi. Pendidikan menjadi serupa warung dengan menu – menu yang sangat mahal dan tentunya hanya akan membatasi akses rakyat Indonesia untuk menempuh pendidikan tinggi.

Jika kita belajar dari pengalaman dimana pada tanggal 31 maret 2010 yang merupakan salah satu  moment kemenangan bersama berbagai lapisan  rakyat tertindas Indonesia mulai dari buruh, tani, mahasiswa dan kaum miskin kota. Pada saat itu dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan satu kebijakan anti rakyat yaitu UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang merupakan produk dari skema liberalisasi pendidikan. Dicabutnya UU BHP merupakan bauah hasil dari perjuangan rakyat yang dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia. Perjuangan – perjuangan itu berupa macam bentuk mulai dari Aksi Demonstasi, Mimbar Bebas, Diskusi, Seminar hingga Judicial Review ke MK. Perjuangan tersebut bukan merupakan perjuangan yang bersifat sporadis dan dadakan, namun merupakan perjuangan yang terogranisir rapi dalam setiap geraknya. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan massa melalui organisasi dan persatuan secara nasional mampu meluluh lantakan suatu kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Dari pengalaman diatas, dapat kita sadari bahwa UKT dan UU PT yang sejatinya merupakan kebijakan yang anti rakyat hanya akan mampu kita lawan dengan bersatunya seluruh lapisan rakyat tertindas khususnya mahasiswa. Maka dari itu melalu tulisan ini kami mengajak para pembaca khususnya mahasiswa untuk merapatkan barisan dan bersatu untuk menciptakan sebuah perjuangan yang massif dan konsisten untuk melawan segala kebijakan yang sejatinya hanya merugikan kita sebagai rakyat Indonesia.