UKT: MEMUDAHKAN ATAU MEMBERATKAN RAKYAT
Oleh Front Mahasiswa Nasional BPR Universitas Palangka Raya
Perhatian publik sempat tersita
ketika hadir berita tentang 5 orang mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang
berencana menjual ginjalnya untuk membayar besaran UKT (Uang Kuliah Tunggal)
yang ditetapkan oleh pihak kampusnya. Bukan hanya di Malang, di Palangka Raya
sendiri UKT menjadi persoalan yang juga menghantui mahasiswa baru di Uniersitas
Palangka Raya. Dari posko pengaduan yang
didirikan oleh Save Universitas Palangka Raya sendiripun sudah menghimpun
sekitar 40 orang mahasiswa yang meminta bantuan untuk mengajukan banding atas
besaran UKT yang diterima. Lalau apa sebenarnya UKT itu? apakah memudahkan atau
justru menyengsarakan rakyat?
A.
Prinsip
Subsidi Silang adalah Ilusi
Sistem
pembiayaan UKT sendiri merupakan kebijakan baru pemerintah melalui Permendikbud
no 55 tahun 2013 dan diperbaharui dengan Permendikbud no 73 tahun 2014. UKT di
Uniersitas Palangka Raya pada tahun 2013 tedapat 5 kelompok pembiayaan yaitu :
Kelompok I (Rp.
500.000,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua buruh berpenghasilan
tidak tetap dan PNS golongan I yang tidak ditampung beasiswa bidik misi.
Kelompok II (Rp.
1.000.000,-) untuk mahasiswa dengan ciri orang tua PNS golongan II,karyawan
swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setara dengan PNS Golongan II.
Kelompok III (Rp.
1.500.00,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua PNS Golongan III,
karyawan swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setara Golongan III.
Kelompok IV (Rp.
2.000.000,-) untuk mahasiswa dengan latar belakang orang tua PNS golongan IV
karyawan swasta yang berpendapatan setara Golongan IV.
Kelompok V (Rp.
2,645,000 – Rp. 4,170,000) mahasiswa dengan penghasilan orang tua lebih dari
PNS golongan IV.
Sistem
tersebut merupakan skema baru dalam pembiayaan pendidikan tinggi, dengan
prinsip subsidi silang dimana yang tergolong dalam kelompok mampu akan membayar
lebih mahal dari kelompok yang tergolong kurang mampu. Namun, walaupun terkesan
baik karna dapat memudahkan mahasiswa yang kurang mampu untuk menempuh
pendidikan tinggi, kenyataannya hal tersebut hanyalah ilusi, karena UKT hanya
menyediakan slot 10 % untuk kelompok I dan kelompok II yang merupakan kelompok
pembiayaan masyarakat kurang mampu. Hal itulah yang mungkin menyebabkan
banyaknya slip pembayaran yang dibuang oleh mahasiswa baru yang mengurungkan
niatnya untuk kuliah di Universitas Palangka Raya. Karena slot untuk menampung
mahasiswa kurang mampu sudah penuh sehingga masih banyak mahasiswa yang kurang
mampu banyak yang tidak tertampung dan dimasukan ke dalam kelompok V dengan
pembiayaan yang lebih mahal. Hal tersebut bukanlah mustahil jika ada seorang
anak buruh perkebunan kelapa sawit dengan UMP Kalimantan Tengah sebesar Rp.
1.723.970,[1]- tidak
tertampung dalam slot kelompok I dan II maka sangatlah berat untuknya dan orang
tuanya membayar UKT yang ditetapkan.
Sementara
itu kesempatan pengajuan keberatan atas besaran UKT yang diterima oleh pihak
kampuspun sama sekali bukan solusi yang tepat. Sebab, jika sekalipun keberatan
diterima dan nominal UKT diturunkan, itupun akan ditetapkan pada semester
berikutnya dan mahasiswa harus tetap membayar besaran UKT yang sebelumnya.
B.
Biaya
Kuliah Makin Mahal
Dengan
sistem pembayaran baru ini juga, nominal uang kuliah malah semakin bertambah
mahal dibandingkan dengan sistem pembayaran sebelumnya. Sebab dalam menghitung
besaran nominal UKT sendiri, segala biaya operasional kampus baik biaya
langsung (gaji dosen, gaji karyawan, biaya proyektor, biaya listrik, biaya
modul, dll) maupun biaya tidak langsung (biaya pemeliharaan gedung, biaya
pembangunan fasilitas, dll) kesemuanya akan dihitung, kemudian jumlah tersebut
disebut unit cost yang menentukan besaran UKT itu sendiri. Maka oleh karena itu
wajar saja, ketika sistem UKT ini diterapkan kepada para mahasiswa baru tahun
2013/2014 dan 2014/2015, secara mayoritas mengalami kenaikan yang cukup drastis
jika dibandingkan dengan biaya kuliah pada tahun sebelumnya.
Walaupun
pemerintah membuat program yang bernama Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
(BOPTN) yang tujuannya agar sebagian besar biaya operasional perguruan tinggi
tidak menjadi beban mahasiswa yang daya belinya tidak cukup untuk membayar
standar biaya operasional sesuai SPM. Namun sifatnya hanya membantu jika
terjadi kekurangan dana operasional di perguruan tinggi tersebut. Begitu juga
dalam sistem UKT ini dengan menyediakan alokasi pembiayaan terjangkau hanya 10%
untuk mahasiswa kurang mampu, BOPTN tentu tidak secara fundamental memudahkan
akses masyarakat terhadap perguruan tinggi.
C.
UKT
adalah Implementasi UU PT dan Bentuk Lepasnya Tanggung Jawab Negara Atas
Pendidikan
Skema
tentang liberalisasi pendidikan atau usaha melepaskan tanggung jawab Negara
terhadap pendidikan di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1995 sejak Indonesia
tergabung ke dalam organisasi perdagangan dunia yang biasa dikenal dengan World
Trade Organization (WTO). Hal ini ditandai dengan diadopsinya semua perjanjian
perdagangan Indonesia dengan beberapa Negara menjadi UU no 7 tahun 1994.
Perjanjian tersebut mengatur tentang tata-perdagangan barang, jasa dan trade
related intellectual property rights (TRIPS) atau ha katas kepemilikan
intelektual yang terkait dengan perdagangan.
WTO memandang bahwa pendidikan termasuk
ke dalam salah satu sector jasa yang layak diperdagangkan. Setidaknya ada 6
negara yaitu Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru
yang meminta Indonesia untuk membuka perdagangan dalam sector jasa pendidikan.
Untuk lebih melancarkan ekspor jasa pendidikan mereka ke Indonesia, intervensi
pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan termasuk subsidi dan
lain sebagainya. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai WTO melalui
perjanjian perdagangan dalam sector jasa atau General Agreement on Trade in
Services (GATS)[1].Skema
ini kemudian diratifikasi atau diadopsi oleh Negara menjadi payung hukum atau
undang – undang di Indonesia. Diantaranya adalah UU Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang terbaru adalah
Undag-undang pendidikan tinggi (UU PT) no 12 tahun 2012.
Kemudian, khusus untuk implementasi
dari UU PT, mulai dari tahun 2013 lahir suatu system pembiayaan yang baru di
perguruan tinggi yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT merupakan amanta langsung
dari UU PT melalui Permendikbud no 55 tahun 2013.
D.
UKT
Menyengsarakan; Bangkit, Berorganisasi dan Bergerak adalah jalan keluar untuk
menghancurkan kebijakan anti rakyat yaitu UKT dan UU PT
Dari
paparan di atas, dapat kita lihat bahwa skema – skema yang ada dalam system UKT
hanyalah ilusi yang sesungguhnya memiliki motivasi untuk menjadikan pendidikan
semakin tergerus ke dalam jurang liberalisasi. Pendidikan menjadi serupa warung
dengan menu – menu yang sangat mahal dan tentunya hanya akan membatasi akses
rakyat Indonesia untuk menempuh pendidikan tinggi.
Jika
kita belajar dari pengalaman dimana pada tanggal 31 maret 2010 yang merupakan
salah satu moment kemenangan bersama
berbagai lapisan rakyat tertindas
Indonesia mulai dari buruh, tani, mahasiswa dan kaum miskin kota. Pada saat itu
dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan satu kebijakan anti rakyat yaitu UU
Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang merupakan produk dari skema liberalisasi
pendidikan. Dicabutnya UU BHP merupakan bauah hasil dari perjuangan rakyat yang
dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia. Perjuangan – perjuangan itu
berupa macam bentuk mulai dari Aksi Demonstasi, Mimbar Bebas, Diskusi, Seminar
hingga Judicial Review ke MK. Perjuangan tersebut bukan merupakan perjuangan
yang bersifat sporadis dan dadakan, namun merupakan perjuangan yang
terogranisir rapi dalam setiap geraknya. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan
massa melalui organisasi dan persatuan secara nasional mampu meluluh lantakan
suatu kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Dari
pengalaman diatas, dapat kita sadari bahwa UKT dan UU PT yang sejatinya
merupakan kebijakan yang anti rakyat hanya akan mampu kita lawan dengan
bersatunya seluruh lapisan rakyat tertindas khususnya mahasiswa. Maka dari itu
melalu tulisan ini kami mengajak para pembaca khususnya mahasiswa untuk
merapatkan barisan dan bersatu untuk menciptakan sebuah perjuangan yang massif
dan konsisten untuk melawan segala kebijakan yang sejatinya hanya merugikan
kita sebagai rakyat Indonesia.