"Gerakan
Mahasiswa Melawan Capres Penindas Rakyat anti Demokratis dan Pelanggar HAM"
Aksi Front Mahasiswa Nasional (FMN) |
Nilai-nilai demokrasi menjadi sebuah capain dalam kemenangan dalam
gerakan reformasi 1998. Pemberangusan dan penghancuran nilai-nilai demokrasi di
Indonesia dengan cara militerristik, kekerasan, indontrinisasi, menjadi ancaman
menakutkan selama masa orba 32 tahun di bahwa rejim boneka fasis Soeharto
berkuasa. Hak-hak demokratis pemuda mahasiswa dalam mengembangkan kebebasan
mimbar akademik sampai dengan pengembangan akademik atas ilmu pengethuan yang
berguna bagi rakyat, dirampas dengan kejam melalui NKK/BKK yang melahirkan
kampus sebagai menara gading yang menopang kebijakan boneka fasis selama
Soeharto berkuasa. Demikian pula dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya yang
menuntut atas penghidupan layak mulai dari hak atas tanah, upah, pekerjaan dan
pelayanan publik lainnya, dibungkam dengan cara-cara kekerasan (refesifitas)
yang membabi buta dari rejim Soeharto. Pemberangusan gerakan-gerakan dengan
tuduhan subversif adalah sebuah provokasi yang dilanggengkan untuk menyuburkan
fasisme di Indonesia selama orde baru. Namun penindasan dan penghisapan rejim
boneka fasis Soeharto sebagai pemerintahan bersama dari klas borjuasi komprador, tuan tanah besar dan kapitalisme
birokrat, bertujuan untuk melanggengkan kepentingan Imperialisme AS di
Indonesia. Tindasan fasisme yang sangat kejam dengan menginjak-injak
nilai-nilai demokrasi dan HAM, melahirkan kesadaran berjuang bagi rakyat
Indonesia untuk melepaskan belenggu dari rejim fasis Soeharto. Krisis finansial
asia 1997 yang menjalar luas ke Indonesia, menjadi syarat-syarat lahirnya
gerakan reformasi untuk menumbangkan Soeharto.
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto meletakkan jabatannya. Kemenangan dalam
menjatuhkan rejim boneka fasis Soeharto adalah kemenangan yang dicatat dalam
sejarah perjuangan rakyat Indonesia khususnya gerakan mahasiswa[1].
Kran demokrasi mulai terbuka untuk memberi prasyarat tegaknya demokrasi di
Indonesia. Walau kita ketahui bahwa gerakan reformasi yang menjatuhkan rejim
fasis Soeharto adalah kemenangan kecil untuk menuju kemenangan berdemokrasi
sejati untuk rakyat. Sebab selama 16 Tahun reformasi bergulir, masih banyak
polemik-polemik yang memberangus bahkan berusaha merampas hak-hak rakyat atas
demokrasi itu. Tindakan usaha untuk menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan HAM
di Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Boneka SBY 10 tahun. Berbagai
manifestasi perampasan hak demokratis rakyat seperti; perampasan tanah secara
masif, melanggengkan politik upah murah, sempitnya lapangan pekerjaa serta
merampas hak-hak layanan publik (pendidikan, kesehatan, dll), menjadi persoalan
yang kronik di Indonesia.
Selama SBY sebagai Rejim boneka, tercatat pula bentuk-bentuk korupsi yang
merajalela di tingkatan kapitalisme birokrat di Indonesia. Mulai dari kasus
BLBI, Bailout Century, Hambalang, kasus Suap Sapi, al-quran, pengadaan RS di
perguruan tinggi, SKK Migas, dan masih banyak lagi[2].
Bahkan paranya lagi, dari sebagain besar kasusu korupsi di Indonesia selama 10
tahun, selalu berhubungan dengan kader-kader Partai penguasa (demokrat) yang
dibesut oleh SBY. Ini juga dicatat
sebagai bentuk kegagalan SBY dalam berdemokrasi selama ia menjabat.
Selain mengguritanya kasus korupsi di masa SBY, terjadi pula
praktik-pratik pelanggaran HAM yang merajalela di Indonesia. Hal ini bisa
dinilai dari pengusiran dengan pembantaian kaum tani di berbagai daerah mulai
dari mesuji, bima sampe, padang halaban, rembang, karawang, dan masih banyak
lagi kaum tani mengalami nasib yang sama. Selain itu, usaha untuk
mengkriminalisasikan rakyat dan unsur-unsur pejuang pro demokrasi kerap
dilakukan pada masa rejim SBY. Di sisi lain, SBY juga belum mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan perlanggaran HAM masa lalu seperi penculikan aktivis,
tanjung periuk, kedung ombo , talang sari, peristiwa semanggi, pelanggaran di
Aceh dan lain-lain. SBY yang mendidirikan pengadilan HAM ad hoc serta pembentukan komisi kebenaran dan
rekonsiliasi[3],
hanyalah kebijakan pencitraan yang pada praktiknya tidak pernah menarik
pelanggar-pelanggar HAM di Indonesia ke dalam pengadilan tersebut. SBY tidak
pernah menuntaskan kasus penculikan aktivis 1998 sampai dengan mengadili kasus
Soeharto sebagai rejim pelanggar HAM dan komprador yang korup. Ini membuktikan
bahwa SBY adalah rejim boneka yang akan senantiasa melanggengkan pelanggaran
HAM di Indonesia.
Kemudian Diskursus yang
menyebutkan militer netral dalam Pilpres 2014 adalah sempalan omong kosong
rejim SBY dan Capres-Cawapres. Sebab, militer akan selalu didorong untuk
terlibat aktif dalam kaca politik di negara-negara berkembang seperti Indonesia[4]. Karena
imperialisme AS akan selalu berusaha untuk mendorong klik militer fasis menjadi
rejim boneka di negara-negara berkembang. Imperialisme mempercayai dengan
kekuatan fasisme akan selalu mampu menjaga stabilitas perpolitikan suatu negara
melalui tindasan-tindasan fasisme terutama dengan fasisme terbuka.
Maka jelas, SBY akan mendukung Capres anti demokratis dan pelanggar HAM
secara habis-habisan dalam Pilpres 2014 ini. Tujuannya adalah memastikan
pergeseran Rejim Boneka SBY ke rejim Boneka fasis yang mengabdi pada
imperialisme AS yang mengalami krisis akut dan kronis.
Hentikan tindakan intimidasi, kecurangan sampai dengan
provokasi yang anti demokratis sehingga menimbulkan kekacauan pasca Pilpres
2014
Pemilu Presiden 2014 yang dilaksanakan pada 9 Juli telah usai. Namun
berbagai fenomena sosial pasca Pilpres 2014 melahirkan berbagai polemik di
tengah-tengah masyarakat. Politik kekanak-kanakan ditunjukkan oleh pemangku
kepentingan yang menimbulkan suasana tidak nyaman di tengah masyarakat
Indonesia. Rejim SBY beserta para kandidat Capres menyebutkan bahwa Pilpres
adalah instrumen dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, sekali
lagi para pemangku kepentingan menunjukkan perilaku politik yang buruk terutama
pasca hasil quick count Pilpres 2014 yang diselenggarakan lembaga-lembaga
survei Independen bahkan lembaga Negara. Akan tetapi, perang klaim kemenangan
dengan merujuk lembaga quick count menjadi polemik yang terus berkepanjangan
hingga bertarung menantikan hasil real count KPU 22 Juli 2014. Hal ini
memperterang bagi rakyat Indonesia, bahwa demokrasi yang sedang dijalankan
melalui Pemilu masih sebatas demokrasi prosedural dengan politik elektoral
untuk melahirkan legitimasi Penguasa di Indonesia.
Selain polemik penghitungan cepat, berbagai kasus kecurangan pun
beranak-pinak ditemukan di lapangan. Pemungutan suara di Hongkong pada 6 Juli
harus berakhir ricuh antara BMI dengan PPLN dan KJRI[5].
Kericuhan ini diakibatnya hilangnya hak suara BMI Hongkong akibat ratusan
bahkan ribuan pemilih tidak dapat menyalurkan hak suaranya. Demikian juga
terjadinya kecurangan di TPS luar negeri pada saat proses pengiriman surat suara
dari LN ke Indonesia melalui POS. Jaringan Buruh Migran Indonesia, menganggap
adanya usaha kecurangan melalui penggelembungan suara pada saat pengiriman. Hal
itu juga sudah pernah terjadi pada saat pemilu legislatif 2009. Kecurangan
dengan pengelembungan suara pun terjadi di beberapa TPS-TPS yang tersebar di
Indonesia. Penggelembungan suara
masif terjadi selama proses rekapitulasi di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Kini rakyat pun dapat menilai kinerja Rejim SBY
melalui mesin-mesin pemilunya KPU RI atas kejujuran dalam mencantumkan
data hasil perhitungan di tingkatan tersebut.
Kemudian bentuk kecurangan lain sebagai
anomali demokrasi prematur di Indonesia, dapat dilihat dari pemungutan ulang di
beberapa TPS di Indonesia. Dilaksanakannya pemungutan ulang karena adanya
kecurangan dari pasangan kandidat melalui timses di lapangan seperti tindakan
pemilih ganda sampai, jumlah suara yang berbeda dengan DPT, surat suara rusak
dan lain-lain.
Kemudian kecurangan yang paling mengemuka adalah kejanggalan C1 yang
menguntukan salah-satu calon. Kejanggalan C1 bukan hanya dilihat dari kesalahan
teknis semata, namun berhubungan dengan kredibilitas KPU dalam melakukan
penghitungan suara. Terbukti jumlah suara di TPS terkadang tidak sesuai dengan
perolehan suara dari kedua pasangan Capres 2014. Hal ini mengindikasikan adanya
pergeseran suara di antara Capres 2014. Kejujuran yang selalu disebut-sebut
oleh Rejim SBY dalam menjalankan Pilpres, dicoreng melalui lembaga Negara yang
SBY pimpin.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_Indonesia_1998,
Diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 07.46 WIB
[2] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/04/02/icw-masa-pemerintahan-sby-kasus-korupsi-makin-meningkat,
Diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 08.13 WIB.
[3] http://www.solopos.com/2014/06/24/pilpres-2014-soal-pelanggaran-ham-sby-dituding-sandera-capres-515113,
Diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 08.24 WIB.
[4] http://pp-frontmahasiswanasional.blogspot.com/2014/07/pemuda-mahasiswa-dan-rakyat-bergandeng.html,
Diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 09.45 WIB.
[5]http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/07/0107013/pemungutan.suara.di.hongkong.ricuh.celetukan.panitia.memperparah.situasi,
diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 2014, pukul 10.11 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar