Rabu, 16 Juli 2014

 "Gerakan Mahasiswa Melawan Capres Penindas Rakyat anti Demokratis dan Pelanggar HAM"

Aksi Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Nilai-nilai demokrasi menjadi sebuah capain dalam kemenangan dalam gerakan reformasi 1998. Pemberangusan dan penghancuran nilai-nilai demokrasi di Indonesia dengan cara militerristik, kekerasan, indontrinisasi, menjadi ancaman menakutkan selama masa orba 32 tahun di bahwa rejim boneka fasis Soeharto berkuasa. Hak-hak demokratis pemuda mahasiswa dalam mengembangkan kebebasan mimbar akademik sampai dengan pengembangan akademik atas ilmu pengethuan yang berguna bagi rakyat, dirampas dengan kejam melalui NKK/BKK yang melahirkan kampus sebagai menara gading yang menopang kebijakan boneka fasis selama Soeharto berkuasa. Demikian pula dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya yang menuntut atas penghidupan layak mulai dari hak atas tanah, upah, pekerjaan dan pelayanan publik lainnya, dibungkam dengan cara-cara kekerasan (refesifitas) yang membabi buta dari rejim Soeharto. Pemberangusan gerakan-gerakan dengan tuduhan subversif adalah sebuah provokasi yang dilanggengkan untuk menyuburkan fasisme di Indonesia selama orde baru. Namun penindasan dan penghisapan rejim boneka fasis Soeharto sebagai pemerintahan bersama dari klas borjuasi  komprador, tuan tanah besar dan kapitalisme birokrat, bertujuan untuk melanggengkan kepentingan Imperialisme AS di Indonesia. Tindasan fasisme yang sangat kejam dengan menginjak-injak nilai-nilai demokrasi dan HAM, melahirkan kesadaran berjuang bagi rakyat Indonesia untuk melepaskan belenggu dari rejim fasis Soeharto. Krisis finansial asia 1997 yang menjalar luas ke Indonesia, menjadi syarat-syarat lahirnya gerakan reformasi untuk menumbangkan Soeharto.
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto meletakkan jabatannya. Kemenangan dalam menjatuhkan rejim boneka fasis Soeharto adalah kemenangan yang dicatat dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia khususnya gerakan mahasiswa[1]. Kran demokrasi mulai terbuka untuk memberi prasyarat tegaknya demokrasi di Indonesia. Walau kita ketahui bahwa gerakan reformasi yang menjatuhkan rejim fasis Soeharto adalah kemenangan kecil untuk menuju kemenangan berdemokrasi sejati untuk rakyat. Sebab selama 16 Tahun reformasi bergulir, masih banyak polemik-polemik yang memberangus bahkan berusaha merampas hak-hak rakyat atas demokrasi itu. Tindakan usaha untuk menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan HAM di Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Boneka SBY 10 tahun. Berbagai manifestasi perampasan hak demokratis rakyat seperti; perampasan tanah secara masif, melanggengkan politik upah murah, sempitnya lapangan pekerjaa serta merampas hak-hak layanan publik (pendidikan, kesehatan, dll), menjadi persoalan yang kronik di Indonesia.

Selama SBY sebagai Rejim boneka, tercatat pula bentuk-bentuk korupsi yang merajalela di tingkatan kapitalisme birokrat di Indonesia. Mulai dari kasus BLBI, Bailout Century, Hambalang, kasus Suap Sapi, al-quran, pengadaan RS di perguruan tinggi, SKK Migas, dan masih banyak lagi[2]. Bahkan paranya lagi, dari sebagain besar kasusu korupsi di Indonesia selama 10 tahun, selalu berhubungan dengan kader-kader Partai penguasa (demokrat) yang dibesut oleh SBY.  Ini juga dicatat sebagai bentuk kegagalan SBY dalam berdemokrasi selama ia menjabat.

Selain mengguritanya kasus korupsi di masa SBY, terjadi pula praktik-pratik pelanggaran HAM yang merajalela di Indonesia. Hal ini bisa dinilai dari pengusiran dengan pembantaian kaum tani di berbagai daerah mulai dari mesuji, bima sampe, padang halaban, rembang, karawang, dan masih banyak lagi kaum tani mengalami nasib yang sama. Selain itu, usaha untuk mengkriminalisasikan rakyat dan unsur-unsur pejuang pro demokrasi kerap dilakukan pada masa rejim SBY. Di sisi lain, SBY juga belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan perlanggaran HAM masa lalu seperi penculikan aktivis, tanjung periuk, kedung ombo , talang sari, peristiwa semanggi, pelanggaran di Aceh dan lain-lain. SBY yang mendidirikan pengadilan HAM ad hoc serta pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi[3], hanyalah kebijakan pencitraan yang pada praktiknya tidak pernah menarik pelanggar-pelanggar HAM di Indonesia ke dalam pengadilan tersebut. SBY tidak pernah menuntaskan kasus penculikan aktivis 1998 sampai dengan mengadili kasus Soeharto sebagai rejim pelanggar HAM dan komprador yang korup. Ini membuktikan bahwa SBY adalah rejim boneka yang akan senantiasa melanggengkan pelanggaran HAM di Indonesia. 

Kemudian Diskursus yang menyebutkan militer netral dalam Pilpres 2014 adalah sempalan omong kosong rejim SBY dan Capres-Cawapres. Sebab, militer akan selalu didorong untuk terlibat aktif dalam kaca politik di negara-negara berkembang seperti Indonesia[4]. Karena imperialisme AS akan selalu berusaha untuk mendorong klik militer fasis menjadi rejim boneka di negara-negara berkembang. Imperialisme mempercayai dengan kekuatan fasisme akan selalu mampu menjaga stabilitas perpolitikan suatu negara melalui tindasan-tindasan fasisme terutama dengan fasisme terbuka.

Maka jelas, SBY akan mendukung Capres anti demokratis dan pelanggar HAM secara habis-habisan dalam Pilpres 2014 ini. Tujuannya adalah memastikan pergeseran Rejim Boneka SBY ke rejim Boneka fasis yang mengabdi pada imperialisme AS yang mengalami krisis akut dan kronis.

Hentikan tindakan intimidasi, kecurangan sampai dengan provokasi yang anti demokratis sehingga menimbulkan kekacauan pasca Pilpres 2014

Pemilu Presiden 2014 yang dilaksanakan pada 9 Juli telah usai. Namun berbagai fenomena sosial pasca Pilpres 2014 melahirkan berbagai polemik di tengah-tengah masyarakat. Politik kekanak-kanakan ditunjukkan oleh pemangku kepentingan yang menimbulkan suasana tidak nyaman di tengah masyarakat Indonesia. Rejim SBY beserta para kandidat Capres menyebutkan bahwa Pilpres adalah instrumen dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, sekali lagi para pemangku kepentingan menunjukkan perilaku politik yang buruk terutama pasca hasil quick count Pilpres 2014 yang diselenggarakan lembaga-lembaga survei Independen bahkan lembaga Negara. Akan tetapi, perang klaim kemenangan dengan merujuk lembaga quick count menjadi polemik yang terus berkepanjangan hingga bertarung menantikan hasil real count KPU 22 Juli 2014. Hal ini memperterang bagi rakyat Indonesia, bahwa demokrasi yang sedang dijalankan melalui Pemilu masih sebatas demokrasi prosedural dengan politik elektoral untuk melahirkan legitimasi Penguasa di Indonesia.

Selain polemik penghitungan cepat, berbagai kasus kecurangan pun beranak-pinak ditemukan di lapangan. Pemungutan suara di Hongkong pada 6 Juli harus berakhir ricuh antara BMI dengan PPLN dan KJRI[5]. Kericuhan ini diakibatnya hilangnya hak suara BMI Hongkong akibat ratusan bahkan ribuan pemilih tidak dapat menyalurkan hak suaranya. Demikian juga terjadinya kecurangan di TPS luar negeri pada saat proses pengiriman surat suara dari LN ke Indonesia melalui POS. Jaringan Buruh Migran Indonesia, menganggap adanya usaha kecurangan melalui penggelembungan suara pada saat pengiriman. Hal itu juga sudah pernah terjadi pada saat pemilu legislatif 2009. Kecurangan dengan pengelembungan suara pun terjadi di beberapa TPS-TPS yang tersebar di Indonesia. Penggelembungan suara masif terjadi selama proses rekapitulasi di tingkat kelurahan dan kecamatan. Kini rakyat pun dapat menilai kinerja Rejim SBY  melalui mesin-mesin pemilunya KPU RI atas kejujuran dalam mencantumkan data hasil perhitungan di tingkatan tersebut.

Kemudian bentuk kecurangan lain sebagai anomali demokrasi prematur di Indonesia, dapat dilihat dari pemungutan ulang di beberapa TPS di Indonesia. Dilaksanakannya pemungutan ulang karena adanya kecurangan dari pasangan kandidat melalui timses di lapangan seperti tindakan pemilih ganda sampai, jumlah suara yang berbeda dengan DPT, surat suara rusak dan lain-lain.

Kemudian kecurangan yang paling mengemuka adalah kejanggalan C1 yang menguntukan salah-satu calon. Kejanggalan C1 bukan hanya dilihat dari kesalahan teknis semata, namun berhubungan dengan kredibilitas KPU dalam melakukan penghitungan suara. Terbukti jumlah suara di TPS terkadang tidak sesuai dengan perolehan suara dari kedua pasangan Capres 2014. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran suara di antara Capres 2014. Kejujuran yang selalu disebut-sebut oleh Rejim SBY dalam menjalankan Pilpres, dicoreng melalui lembaga Negara yang SBY pimpin.

0 komentar: